Afrika adalah benua terbesar ketiga di dunia setelah Asia dan Amerika dan kedua terbanyak penduduknya setelah Asia. Dengan luas wilayah 30.224.050 km² termasuk pulau-pulau yang berdekatan, Afrika meliputi 20,3% dari seluruh total daratan Bumi. Dengan 800 juta penduduk di 54 negara, benua ini merupakan tempat bagi sepertujuh populasi dunia.
SEJARAH ARSITEKTUR ISLAM DI AFRIKA
Afrika adalah tempat
bermacam-macam bangsa dan kebudayaan yang banyak sekali. Afrika adalah negeri
dengan pertentangan yang sangat mencolok dan keindahan yang liar. Di sana juga
terdapat banyak masalah termasuk perang, kelaparan, kemiskinan, dan masalah
penyakit. Di Afrika terdapat gurun Sahara yang merupakan gurun pasir terbesar
di dunia. Gurun itu terbentang mulai dari samudra Atlantik di barat hingga laut
merah di sebelah timur. Sahara meliputi seperempat dari seluruh benua itu.
Realitas wilayah Afrika merupakan
daerah yang berada dibawah kekuasaan kekaisaran Romawi, yaitu sebuah kekaisaran
yang super power pada masa itu. Dalam sejarah peradaban dunia, bahwa kaisar-kaisar
Romawi dikenal
sebagai penguasa yang kejam, lalim dan berdarah penjajah. Namun pada
kenyataannya, justru Islam
dapat berkembang di Afrika dan
populasi penduduk muslimnya mencapai 75 juta dari 500 juta jumlah populasi umat
muslim seluruh dunia.
Di Afrika juga terdapat dinasti-dinasti
yang ikut terlibat dan mewarnai Islamisasi di wilayah tersebut. Berkaitan dengan hal diatas, makalah
ini membahas tentang bagaimana perjalanan penyebaran Islam di wilayah Afrika (khususnya Afrika Utara dan Sub Sahara) sehingga Islam dapat diterima di wilayah yang
telah dikuasai oleh penguasa-penguasa Romawi tersebut dan dinasti apasaja yang telah berkuasa dalam
sejarah perjalanan islam di afrika.
Islam masuk Afrika sama dengan
sejarah agama Islam itu sendiri. Orang Afrika yang masuk Islam
pertama yaitu Bilal bin Rabah seorang Habsyi, Etiopia yang menjadi
izin Muazin dan sahabat kesayangan Nabi Muhammad SAW.Pada masa Nabi SAW,
pertama kali ada kontak Islam dengan Afrika yaitu setelah beberapa sahabatnya
hijrah ke Hasbsy dan mendapatkan perlakuan baik dari masyarakat maupun dari
penguasa yaitu Raja Najjasyi atau Negus
Pada abad 1 H/7 M kehidupan
sosial masyarakat Afrika Utara lebih merupakan kehidupan masyarakat Barbar yang
bersifat kesukuan, nomad dan partiarkhi.Kemudian, Awal
mula Islam masuk afrika adalah di bawah pimpinan Amr Bin Ash pada tahun 640 M
pada saat menyerbu mesir yang di kuasai oleh kerajaan bizantium, Amru bin Ash
memandang bahwa Mesir dilihat dari kacamata militer maupun perdagangan letaknya
sangat strategis, tanahnya subur karena terdapat sungai Nil sebagai sumber
makanan.
Maka dengan restu Khalifah Umar
bin Khattab dia membebaskan Mesir dari kekuasaan Romawi pada tahun 19 H (640 M)
hingga sekarang
MASJID - MASJID DI AFRIKA BARAT
Masjid Agung (Mesjid Djinguereber) Timbuktu (1330an/1569-71)
MASJID - MASJID DI AFRIKA BARAT
Masjid Agung (Mesjid Djinguereber) Timbuktu (1330an/1569-71)
“Timbuktu
kini menjadi bagian dari legenda kejayaan umat Islam. Meninggalkan saksi mata
para pengembara dan ulama dunia lewat sejarah dan peta. Hancur-lebur karena
keserakahan imperialisme. Timbuktu selangkah lagi ‘tenggelam’, menunggu waktu
saat pasir Sahara menyelimuti kota ini, selamanya”
Mendengar
nama ‘timbuktu’ mungkin di antara kita ada yang merasa ‘asing’. Dimana kota
tersebut? Ada apakah di sana? Namun, ada juga yang hanya mengetahui Timbuktu
itu identik dengan ‘masjid tua’ yang terbuat dari tanah liat semata. Tak lebih
dari itu. Sekarang, tak banyak yang bisa diceritakan dari kota yang tandus dan
gersang di Afrika itu.
Dunia saat
ini mungkin hanya mengetahui keberadaan kota itu dari sebuah bangunan masjid
antik yang menjadi cagar budaya dunia, yaitu Masjid Djinguereber. Masjid
terbesar di Timbuktu ini sangat unik karena dibangun dengan menggunakan
material tanah lumpur.
Dengan arsitektur khas lokal dan warna alamiah coklat
lumpur, masjid ini dibangun pada masa kejayaan Timbuktu.
Sejatinya
kota tua Timbuktu yang terletak di Mali, Afrika Barat, ini merupakan ’rumah’
bagi Koranic Sankore University dan hampir terdapat 200-an madrasah.
Kota
Timbuktu yang berada di Gurun Sahara ini sempat menjadi pusat penyebaran Islam
di Afrika pada abad ke-15 dan 16. Dulu terdapat tiga buah masjid besar yaitu
Masjid Djinguereber, Sankore dan Sidi Yahia. Ketiganya menandai kejayaan Islam
pada masa itu.
Masjid Djinguereber dan Sankore dibangun pada masa pemerintahan
Sultan Kankan Moussa pada awal abad ke-14. Masjid Sidi Yahia dibangun pada
tahun 1400.
Islam
berkembang di Mali (Afrika Barat) berawal dari masa Khalifah Umar bin Khaththab
ra., sewaktu Amru bin Ash memohon kepada Khalifah untuk memperluas penyebaran
Islam ke Mesir.
Dengan restu Khalifah Umar ra. dia membebaskan Mesir dari
kekuasaan Romawi pada tahun 19 H (640 M) hingga sekarang. Dari Mesir,
penyebaran Islam selanjutnya dipimpin oleh Abdullah Ibn Saad ke Tunisia dari
tahun 647-648 M,3 dan kemudian di lanjutkan oleh jenderal Muslim Uqba Ibn
Nafi pada tahun 670 M, 2 tahun setelahnya (672 M). Uqbah Ibn Nafi mendirikan
Kota Qairawan/Kairouan di Tunisia.
Usaha
penaklukkan Afrika Utara dilanjutkan oleh Zuheir. Dari Afrika Utara ini, Islam
masuk ke Afrika Barat pada abad IX. Islam dibawa oleh Muslim Berber dan Tuareg
yang sebagian besar merupakan pedagang. Para sufi juga berperan dalam
penyebaran agama Islam di daerah tersebut. Pada awal-awal masuknya Islam di
kawasan sebelah barat Afrika itu, Kota Timbuktu, Gao dan Kano dijadikan sebagai
pusat pengajaran Islam.
Pada abad
ke-12 M Timbuktu telah menjelma sebagai salah satu kota pusat ilmu pengetahuan
dan peradaban Islam yang termasyhur. Di era kejayaan Islam, Timbuktu juga
sempat menjadi sentra perdagangan terkemuka di dunia. Rakyat Timbuktu pun hidup
sejahtera dan makmur.
Sejarahwan
abad XVI, Leo Africanus, menggambarkan kejayaan Timbuktu dalam buku yang dia
tulis. “Begitu banyak hakim, doktor dan ulama di sini (Timbuktu). Semua
menerima gaji yang sangat
memuaskan dari Raja Askia Muhammad, penguasa negeri Songhay. Raja pun menaruh
hormat kepada rakyatnya yang giat belajar,” tutur Africanus.
Pada era
keemasan Islam, ilmu pengetahuan dan peradaban tumbuh sangat pesat di Timbuktu.
Rakyat di daerah itu begitu gemar membaca buku. Menurut Africanus, permintaan
buku di Timbuktu sangat tinggi. Setiap orang berlomba membeli dan mengoleksi
buku. Akibatnya, perdagangan buku di kota itu menjanjikan keuntungan yang lebih
besar dibanding lainnya.
Di Timbuktu
masjid dan perpustakaan tidak saling berdiri sendiri. Masjid dikenal sebagai
pusat untuk mencari ilmu sehingga perpustakaan pun menjadi bagian dari masjid.
Perpustakaan Sankore memiliki 700 volume buku yang tertulis dalam bahasa Arab
dan di kopi dengan tulisan tangan. Para pelajar berlomba-lomba mengkopi
buku-buku yang mereka perlukan untuk belajar.
Al-Wazan,
seorang pengembara muslim terkenal abad 16, mencatat bahwa saat itu di
Timbuktu, buku merupakan barang yang paling laris dibeli dibandingkan dengan
barang lain. Mendekati abad ke-19, Felix Dubois menjelaskan posisi Timbuktu
yang strategis sebagai pusat perjalanan jamaah haji ke Makkah menyebabkan
tersedianya banyak buku-buku.
Sejak abad
ke-11 M, Timbuktu mulai menjadi pelabuhan penting tempat beragam barang dari
Afrika Barat dan Afrika Utara diperdagangkan. Pada era itu, garam merupakan
produk yang amat bernilai. Kemakmuran kota itu menarik perhatian para sarjana
kulit hitam, pedagang kulit hitam dan saudagar Arab dari Afrika Utara.
Garam, buku
dan emas menjadi tiga komoditas unggulan yang begitu tinggi angka permintaannya
pada era itu. Bahkan menurut hasil catatan perjalanan dalam episode in to Africa, wartawan BBC Henry
Louis Gates Jr. menggambarkan pada masa kejayaan Timbuktu, hasil emas yang
melimpah menyebabkan penduduk Timbuktu menukar se-ons emas dengan garam!
Timbuktu pun
mulai menjelma menjadi pusat pembelajaran Islam serta sentra perdagangan. Pada
abad ke-12 M, Timbuktu telah memiliki 3 universitas serta 180 sekolah al-Quran.
Ketiga universitas Islam yang sudah berdiri di wilayah itu antara lain Sankore
University, Jingaray Ber University dan Sidi Yahya University. Inilah masa
keemasan peradaban Islam di Afrika.
Pada tahun
1325 M, Timbuktu mulai dikuasai Kaisar Mali, Masa Mussa (1307-1332). Raja Mali
yang terkenal dengan sebutan Kan Kan Mussa itu begitu terkesan dengan warisan
Islam di Timbuktu. Sepulang menunaikan haji, Sultan Mussa membawa seorang
arsitek terkemuka asal Mesir bernama Abu Es Haq Es Saheli. Sultan menggaji
arsitek itu dengan 200 kg emas untuk membangun Masjid Jingaray Ber – Masjid
untuk shalat jumat. Sultan Musa juga membangun istana kerajaanya atau Madugu di
Timbuktu.
Pada masa kekuasaannya, Musa juga membangun masjid di Djenne dan
masjid agung di Gao (1324-1325) M yang kini hanya tersisa fondasinya saja.
Kerajaan Mali mulai terkenal di seluruh dunia. Sebagai penguasa yang besar dia
membawa 60 ribu pegawai dalam perjalanan menuju Makkah. Hebatnya setiap pegawai
membawa tiga kg emas. Hal ini menjadikan Timbuktu dan Mali mulai masuk peta
pada abad ke-14 M.
Masjid Sankore (Antara abad 14 – 15) di Timbuktu
Nama Sankore
berarti "putih bangsawan", istilah 'putih' di sini mengacu pada
berkulit terang Sanhaja Berber . Sankore dibangun di bawah
kepemimpinan Sanhaja Berber, antara 1325 dan 1433. Akhirnya Oratorium dari Sidi
yahya atau masjid Mohamed Naddah dibangun pada awal abad ke-15.
Timbuktu telah lama tujuan atau
berhenti untuk pedagang dari Timur Tengah dan Afrika Utara . Itu tidak lama sebelum ide-ide serta barang dagangan mulai
melewati kota dongeng. Karena kebanyakan jika
tidak semua pedagang ini adalah Muslim , masjid akan melihat
pengunjung terus-menerus. Candi akumulasi
kekayaan buku-buku dari seluruh dunia Muslim menjadi tidak hanya sebuah pusat
ibadah tetapi pusat belajar. Buku menjadi lebih
berharga dibandingkan komoditas lainnya di kota, dan perpustakaan pribadi
bertunas di rumah-rumah ulama lokal.
Ini adalah salah satu dari dua masjid bersejarah di
Timbuktu, Mali. Masjid ini dibangun pada awal abad ke-14 di akhir kejayaan
Kekaisaran Mali. Meski demikian, bangunan tertua yang masih ada hingga kini
dibuat pada 1581. Adalah kepala hakim di Timbuktu, yakni Al-Qadi Aqib ibnu
Muhammad ibnu Umar, yang pertama kali memerintahkan
pembangunan Masjid Sankore.
pembangunan Masjid Sankore.
Secara arsitektur bangunan masjid ini tergolong unik dan luar biasa, terutama mihrab besarnya yang berbentuk piramida. Keunikan itulah yang membuat Masjid Sankore terkenal di seluruh dunia. Ensiklopedi Seni dan Arsitektur Islam menyebut, masjid ini juga meniru Masjidil Haram, Makkah. Hal ini tampak dari keberadaan halaman yang nyaman di bagian dalam.
Masjid-Makam Askia al – Hajj Muhammad
(pertengahan abad 16) di gao
Pernah menjadi pusat perdagangan, kebudayaan, dan
penyebaran islam di Mali, terletak 400an kilometer di sebelah timur Timbuktu.
Makam Askia Al-hajj Muhammad salah seorang dari imperium Songhai memerintah
dari 1493-1528.
Dibanding dengan mesjid dibahas sebelum ini, tata-ruang
mesjid-makam Askia al-hajj Muhammad lebih terlihat mendapat pengaruh dari luar
dengan bentuk hypostyle, simetris, haram melebar ke arah tegak lurus kiblat
seperti banyak mesjid telah dibahas di depan. Dinding-mihrab lebih tebal dari dinding
lateral. Sahn dari mesjid percorak hypostyle ini tidak terbentuk oleh portico,
melainkan oleh dinding keliling.
Minaret
yang ada saat ini hanya tiga tingkat, tingginya sekitar 11 m, pada 1854
tercatat tujuh tingkat tingginya antara 18 hingga 20 m
Mesjid
Agung Djenne (abad 14-15)
Kota Djenne juga di Mali, terletak sekitar 500 km di
selatan Timbuktu, di tepian Sungai Bani hulu sungai Niger.
Kompleks mesjid berbentuk hypostyle lengkap dengan sahn
dikelilingi iwan, berada pada suatu plataran agak tinggi (platform).
Bentuk
platform segi empat tidak teratur, untuk naik dari masing-masing sisi ada
tangga, bahkan yang di sebelah barat dan utara ada dua. Meskipun segi empat,
namu sisi utama iwan lateral tidak sejajar, sehingga lebih tepat di sebut jajar
genjang.
Di dalam haram dipenuhi dengan kolom yang karena lebarnya
dapat pula disebut sebagai dinding. Pengaruh dari luar terlihat dari adanya
susunan kolom dan dinding membentuk deretandalam hal ini sepuluh deret.
Masjid yang memiliki tiga menara setinggi 11 meter ini, ternyata terbuat dari lumpur. Meski demikian, konstruksi bangunan masjid nan megah tersebut, sudah bertahan sejak terakhir direnovasi total pada tahun 1906 silam.
Kemudian, masjid yang berciri khas arsitektur Sudah Sahelian ini direnovasi total pada tahun 1906.
Renovasi tersebut membutuhkan waktu hingga tiga tahun. Namun hasilnya sangat memuaskan. Masjid berdiri kokoh nan megah dengan ciri khas arsitektur yang masih dipertahankan.
Maka wajar saja jika kemudian UNESCO memasukan masjid yang berdiri diatas lahan seluas 75 x 75 meter ini sebagai salah satu situs warisan dunia.
Adapun dinding bangunan masjid ini terbuat dari batu lumpur yang dilapisi tanah liat.
Ketebalan dindingnya bervariasi tergantung pada ketinggian dinding, namun pada umumnya mencapai 40 cm hingga 60 cm sehingga cukup kokoh untuk menahan struktur bangunan.
Sementara untuk meminimalisir dampak kerusakan akibat perubahan suhu dan lingkungan, bagian dinding juga diperkuat dengan kayu dari pohon kelapa.
Masjid Agung Mopti (1935)
Kolom-kolom pada mesjid di dalam haram, tidak lagi
berbentuk lebar seperti dinding, namun penampangnya bujur sangkar. Deretan
kolom, dingding-mihrab dan dinding depan membentuk empat lajur ke arah tegak
lurus kiblat dan delapan baris dengan dinding lateral ke arah kiblat. Secara
keseluruhan lebar dibanding tinggi bentuk mesjid lebih terkesan menjulang ke
atas, diperkuat dengan minaret tinggi di kiri-kanan depan.
Terimakasih sudah membaca artikel ini, semoga bermanfaat untuk anda :)
Nice post. Good Quality
ReplyDeleteArtikelmu sangat bermanfaat. Aku suka!
Raratravel & Tour.
Melayani: Travel Jember Surabaya Juanda.
Adapun Paket Wisata dan Ziarah Wali 5.